Sastra Aceh Tenggelam, Kini Dibangkitkan Oleh Orang Dataran Tinggi 

Berita, Budaya360 Dilihat

BANDA ACEH – Summit Launching (Puncak Peluncuran) buku terbaru terbitan Komunitas dan Penerbit The Gayo Institute (TGI) yang bertajuk “Antologi Puisi -Introspeksi Memandang Aceh dari Satu Kacamata-” dilaksanakan di Indoor Taman Seni dan Budaya Banda Aceh Sabtu, 17 Agustus 2024 berlangsung meriah.

Sebelumnya buku yang sama juga telah di pra launchingkan di Lt 4. Gedung Arsip dan Perpustakaan Aceh Jl. T. Nyak Arif Banda Aceh pada Rabu 14/8/2024.

Dr. Fuad Mardatillah UY Tiba, MA tampil sebagai pembedah dan pembica utama mengatakan sastra Aceh beberapa waktu belakangan ini telah tenggelam dari publik dan orang dari dataran tinggi membangkitkannya kembali.

“Sastra Aceh secara komunal telah tenggelam beberapa waktu belakangan ini, tidak ada indikasi atau peluang untuk maju dan bangkit. hanya seni tradisi yang terus hidup.

Itupun di wilayah di luar Banda Aceh, di wilayah dataran tinggi, sebahagian kecil pantai barat dan selatan saja.

Untung ada orang dari dataran tinggi yang terus berkarya dan bangkit”, jelas intelektual Aceh yang akrap disapa bang Fuad ini dengan menyitir kalimat “orang-orang berselimut di daerah sejuk dan dingin terus berkarya, sementara yang lain tak tanpak kontribusinya”.

Ditambahkan sudah selayaknya sastrawan Aceh menggugat karena masyarakat malas membaca bahkan tidak dibudayakan sejak usia PAUD, nestapa Aceh lebih parah lagi di ruang-ruang media sosial.

Demikian juga dengan tradisi ilmiyah yang tidak hidup, jelas Fuad yang mengaku kerap melempar wacana-wacana dialektika tetapi tidak ada yang menaggapinya secara kritis.

Dialektika seni dan budaya tetap harus dipertahankan sebagai warisan kearifan, seperti terbitnya buku ini, tambah mantan Direktur ACI ini yang kemudian ditutup dengan pembacaan puisinya yang termuat dalam buku yang sama.

Sementara itu kurator dan penyunting buku “Antologi Puisi -Introspeksi Memandang Aceh dari Satu Kacamata-” Dr. Salman Yoga S menyatakan ruang-ruang sastra kita kian terjepit.

“Ruang-ruang sastra kita yang terseleksi dan bermutu kian terjepit. Pasca rontoknya rubrik-rubrik yang sama dari sejumlah media cetak yang selama ini menjadi saluran utama para penulis.

Hal tersebut diperparah lagi dengan andil pemerintah Aceh yang abai terhadap hal tersebut. Terbukti dalam even budaya lima tahunan seperti Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ruang bagi pelaku sastra tertutup rapat bahkan ada kesan sengaja ditiadakan.

Padahal dalam sejarahnya eksistensi negeri ini mashur dan disegani adalah karena nilai dan karakter kebudayaannya”, jelas Salman yang selain penulis juga adalah penerjemah karya sastra asing kedalam bahasa daerah.

Ditambahkan, Salman mengakui sastra Aceh secara komunal tenggelam, baik di ruang publik, dialektika dan program instansi terkait. Meskipun demikian kekaryaan secara personal sejumlah sastrawan Aceh tetap eksis di luar. Jelanya.

Sejumlah seniman yang turut memeriahkan dengan tampil baca puisi secara parade dalam Summit Launching (Puncak Peluncuran) buku “Antologi Puisi -Introspeksi Memandang Aceh dari Satu Kacamata-” ini ada Zulfikar Kirbi, Iwan Setiawan, Rahmad Sanjaya, Nazar Debus, Made In Made, Ansar Salihin dan lain-lain. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *